Oleh Tate Qomarudin, Lc
Dari Abi Hurairah (semoga Allah meridhainya) berkata, telah bersabda Rasulullah Saw., ‘Barangsiapa pernah melakukan kezaliman terhadap saudaranya baik menyangkut kehormatannya maupun sesuatu yang lain, maka hendaklah dia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika dia mempunyai amal saleh, akan diambil darinya seukuran kezalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudaranya (yang dizalimi) kemudian dibebankan padanya.’” (H.R. Al-Bukhari)
Sebelum kita mengupas dan memetik pelajaran dari hadits tersebut di atas, mari kita perhatikan sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana Rasulullah Saw. sendiri melaksanakan yang beliau ajarkan kepada umatnya.
Pada saat turunsurat An-Nashr, Rasulullah Saw. berkata kepada malaikat Jibril, “Jiwaku telah diberi isyarat kematian.” Sang Penyampai Wahyu menjawab, “Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” Seraya Rasulullah Saw. memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan, memanggil manusia untuk shalat.
Berhimpunlah segenap kaum muslim yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Setelah shalat dilaksanakan, Rasulullah Saw. berdiri untuk memberi arahan dan wejangan. Isak tangis dan lelehan air mata para sahabat tak tertahankan lagi demi mendengar nasihat yang mengisyaratkan bahwa tak akan lama lagi Beliau akan meninggalkan alam fana.
“Demi Allah, aku mohon kepada kalian, siapa di antara kalian yang merasa pernah dizalimi olehku, majulah padaku dan balaslah aku,” pinta Rasulullah Saw. usai memberikan nasihat. Semua hening, terdiam, tidak ada yang berkata apa pun terlebih lagi maju ke hadapan Rasulullah. Rasul mulia mengulanginya lagi. Masih sama, semua terdiam, hening, tidak ada yang bersuara, konon lagi maju ke hadapan Rasulullah Saw.
Rasul mengulangi untuk yang ketiga kali dan kali ini ia berkata, “Demi Allah, aku mohon kepada kalian, siapa di antara kalian yang merasa pernah dizalimi olehku, majulah padaku dan balaslah aku, sebelum aku mendapatkan pembalasan di hari kiamat.” Kali ini, tiba-tiba seseorang menyeruak dari kerumunan. Seorang lelaki tua, Ukkasyah namanya.
“Ya Rasulullah, jika bukan karena engkau mengulangi permintaan itu berkali-kali, aku tidak akan menghadap kepadamu,” ia mulai berkata. “Dulu pada suatu peperangan dan kita pulang dengan kemenangan, dalam perjalanan pulang, untaku mendekati untamu. Lalu aku turun untuk mencium pahamu tapi engkau mengangkat sebilah dahan kayu lalu memukul pinggulku. Dan aku tidak tahu apakah engkau bermaksud memukulku atau memukul unta,” sambungnya.
“Aku memperlindungkan dirimu dengan keagungan Allah, bagaimana mungkin seorang utusan Allah sengaja memukul,” jawab Rasulullah Saw. Beliau kemudian memerintahkan seseorang untuk mengambil sebilah dahan kayu yang sudah diraut halus dari rumahnya.
Setelah batang dahan kayu itu ada di tangannya, beliau menyerahkannya kepada Ukkasyah. Saat Abu Bakar dan Umar melihat hal itu, bangkitlah mereka seraya berkata, “Inilah kami berdua di hadapanmu, wahai Ukkasyah. Balaskanlah kepada kami, jangan kepada Rasulullah Saw.”
Melihat hal itu, Rasulullah Saw. berkata, “Wahai Abu Bakar, pergilah. Wahai Umar, pergilah. Allah sungguh telah mengetahui kedudukan dan posisi kalian.” Lalu bangkitlah Ali bin Abi Thalib seraya berkata, “Wahai Ukkasyah, inilah aku masih hidup di hadapan Rasulullah Saw. dan aku tak akan sampai hati melihat Rasulullah Saw. dipukul. Inilah punggunggku dan inilah perutku. Balaskanlah kepadaku dengan tanganmu dan cambuklah aku seratus kali, jangan kau membalas kepada Rasulullah Saw.” Rasulullah Saw. meresponnya dengan berkata, “Wahai Ali, duduklah. Allah sungguh telah mengetahui kedudukanmu dan niatmu.” Tidak lama kemudian, bangkitlah Hasan dan Husain, cucu Rasulullah. “Wahai Ukkasyah, bukankah engkau tahu bahwa kami adalah cucu Rasulullah Saw.? Maka bila engkau membalaskan kepada kami maka akan sama dengan membalas kepada Rasulullah Saw.,” pinta mereka. Berkatalah Rasulullah Saw., “Duduklah kalian wahai penyejuk jiwaku. Allah pasti tidak akan melupakan posisi kalian ini.”
Rasulullah Saw. kemudian berkata, “Wahai Ukkasyah, pukullah jika engkau mau memukul.” Ukkasyah menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau dulu memukulku dalam keadaan perutku tidak tertutup pakaian.” Maka Rasul pun menyingkapkan pakaian dari perutnya. Melihat adegan itu, semua orang yang hadir menangis dan saling berkata, “Tegakah Ukkasyah memukul Rasulullah Saw.?”
Namun apa yang dilakukan Ukkasyah? Begitu Rasulullah Saw. menyingkapkan pakaian dari perutnya, Ukkasyah malah memeluk dan mencium perut Rasulullah Saw. seraya berkata, “Demi Allah, siapa yang akan sampai hati membalas engkau wahai Rasulullah.” Namun Rasulullah Saw. berkata, “Engkau harus memukulku atau memaafkanku.” Apa jawaban Ukkasyah? Ukkasyah (semoga Allah meridhainya) menjawab, “Sungguh aku telah memaafkan engkau dengan harapan Allah pun memaafkanku pada hari kiamat.”
Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yang berkenan melihat pendampingku di surga, lihatlah orang tua ini.” Sejurus kemudian, berkerumunlah orang-orang mengitari dan menciumi Ukkasyah. Sebagian mereka mengatakan, “Berbahagialah engkau. Engkau mendapat derajat tinggi dan engkau menjadi pendamping Rasulullah Saw. di surga.”
Dari hadits di atas dan penjelasan langsung melalui perilaku Rasulullah Saw. dalam berinteraksi dengan para sahabatnya, kita dapat menarik beberapa ibrah.
Pertama, Rasulullah Saw. begitu takut menghadap Allah dalam keadaan membawa dosa kezaliman kepada sesama manusia.
Karenanya, Rasulullah pun mengingatkan kepada kita sebagai umatnya agar jangan sampai meninggal dunia dalam keadaan membawa dosa akibat kezaliman terhadap sesama hamba.
Dengan gamblang, hadits yang sedang kita kaji ini menggambarkan bahwa urusan kezaliman kepada sesama manusia tidak akan berakhir dengan berakhirnya kehidupan seseorang. Bahkan tidak akan dihentikan perkaranya dengan kehancuran alam semesta.
Dosa semacam itu akan terus mengikuti sang pelaku selama belum mendapatkan permaafan atau penghalalan (pemutihan) dari pihak yang menjadi korban. Setiap orang yang pernah menjadi korban kezaliman akan menuntut balas di hari akhirat, di hadapan hakim Yang Maha Adil.
Jika Rasulullah Saw. sedemikian mengkhawatirkan dirinya kembali kepada Sang Pencipta dengan membawa hutang kezaliman, selayaknyalah kita merasa lebih cemas lagi. Rasul yang amal ibadahnya berada pada puncak kesempurnaan. Rasul yang pahala kebaikannya, amal salehnya, perjuangannya, dan pengorbanannya tidak mungkin ditandingi oleh siapa pun. Dan Rasulullah pula yang merasa amat takut jika dosa-dosa akibat kezaliman menggerogoti semuanya.
Lalu, apa yang kita punya? Seberapa banyak amal yang kita punya? Setinggi apa tabungan ibadah dan amal saleh yang sudah kita himpun? Hitunglah, bila semua amal yang sudah kita lakukan itu harus diambil guna melunasi hutang akibat dosa-dosa kezaliman, berapa yang masih tersisa?
Kezaliman yang disebut dalam hadits tersebut di atas amat banyak bentuk dan jenisnya. Jangan bayangkan kezaliman hanya dalam bentuk kesewenang-wenangan penguasa kepada rakyatnya. Setiap orang berpeluang terjebak melakukan sikap zalim kepada orang lain karena kata zalim bermakna sikap apa pun yang menunjukkan perbuatan meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Maka, membersihkan diri dari dosa kezaliman sebelum Allah memanggil kita ke haribaan-Nya adalah sikap yang bijak.(Bersambung)
Sebelum kita mengupas dan memetik pelajaran dari hadits tersebut di atas, mari kita perhatikan sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana Rasulullah Saw. sendiri melaksanakan yang beliau ajarkan kepada umatnya.
Pada saat turun
Berhimpunlah segenap kaum muslim yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Setelah shalat dilaksanakan, Rasulullah Saw. berdiri untuk memberi arahan dan wejangan. Isak tangis dan lelehan air mata para sahabat tak tertahankan lagi demi mendengar nasihat yang mengisyaratkan bahwa tak akan lama lagi Beliau akan meninggalkan alam fana.
“Demi Allah, aku mohon kepada kalian, siapa di antara kalian yang merasa pernah dizalimi olehku, majulah padaku dan balaslah aku,” pinta Rasulullah Saw. usai memberikan nasihat. Semua hening, terdiam, tidak ada yang berkata apa pun terlebih lagi maju ke hadapan Rasulullah. Rasul mulia mengulanginya lagi. Masih sama, semua terdiam, hening, tidak ada yang bersuara, konon lagi maju ke hadapan Rasulullah Saw.
Rasul mengulangi untuk yang ketiga kali dan kali ini ia berkata, “Demi Allah, aku mohon kepada kalian, siapa di antara kalian yang merasa pernah dizalimi olehku, majulah padaku dan balaslah aku, sebelum aku mendapatkan pembalasan di hari kiamat.” Kali ini, tiba-tiba seseorang menyeruak dari kerumunan. Seorang lelaki tua, Ukkasyah namanya.
“Ya Rasulullah, jika bukan karena engkau mengulangi permintaan itu berkali-kali, aku tidak akan menghadap kepadamu,” ia mulai berkata. “Dulu pada suatu peperangan dan kita pulang dengan kemenangan, dalam perjalanan pulang, untaku mendekati untamu. Lalu aku turun untuk mencium pahamu tapi engkau mengangkat sebilah dahan kayu lalu memukul pinggulku. Dan aku tidak tahu apakah engkau bermaksud memukulku atau memukul unta,” sambungnya.
“Aku memperlindungkan dirimu dengan keagungan Allah, bagaimana mungkin seorang utusan Allah sengaja memukul,” jawab Rasulullah Saw. Beliau kemudian memerintahkan seseorang untuk mengambil sebilah dahan kayu yang sudah diraut halus dari rumahnya.
Setelah batang dahan kayu itu ada di tangannya, beliau menyerahkannya kepada Ukkasyah. Saat Abu Bakar dan Umar melihat hal itu, bangkitlah mereka seraya berkata, “Inilah kami berdua di hadapanmu, wahai Ukkasyah. Balaskanlah kepada kami, jangan kepada Rasulullah Saw.”
Melihat hal itu, Rasulullah Saw. berkata, “Wahai Abu Bakar, pergilah. Wahai Umar, pergilah. Allah sungguh telah mengetahui kedudukan dan posisi kalian.” Lalu bangkitlah Ali bin Abi Thalib seraya berkata, “Wahai Ukkasyah, inilah aku masih hidup di hadapan Rasulullah Saw. dan aku tak akan sampai hati melihat Rasulullah Saw. dipukul. Inilah punggunggku dan inilah perutku. Balaskanlah kepadaku dengan tanganmu dan cambuklah aku seratus kali, jangan kau membalas kepada Rasulullah Saw.” Rasulullah Saw. meresponnya dengan berkata, “Wahai Ali, duduklah. Allah sungguh telah mengetahui kedudukanmu dan niatmu.” Tidak lama kemudian, bangkitlah Hasan dan Husain, cucu Rasulullah. “Wahai Ukkasyah, bukankah engkau tahu bahwa kami adalah cucu Rasulullah Saw.? Maka bila engkau membalaskan kepada kami maka akan sama dengan membalas kepada Rasulullah Saw.,” pinta mereka. Berkatalah Rasulullah Saw., “Duduklah kalian wahai penyejuk jiwaku. Allah pasti tidak akan melupakan posisi kalian ini.”
Rasulullah Saw. kemudian berkata, “Wahai Ukkasyah, pukullah jika engkau mau memukul.” Ukkasyah menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau dulu memukulku dalam keadaan perutku tidak tertutup pakaian.” Maka Rasul pun menyingkapkan pakaian dari perutnya. Melihat adegan itu, semua orang yang hadir menangis dan saling berkata, “Tegakah Ukkasyah memukul Rasulullah Saw.?”
Namun apa yang dilakukan Ukkasyah? Begitu Rasulullah Saw. menyingkapkan pakaian dari perutnya, Ukkasyah malah memeluk dan mencium perut Rasulullah Saw. seraya berkata, “Demi Allah, siapa yang akan sampai hati membalas engkau wahai Rasulullah.” Namun Rasulullah Saw. berkata, “Engkau harus memukulku atau memaafkanku.” Apa jawaban Ukkasyah? Ukkasyah (semoga Allah meridhainya) menjawab, “Sungguh aku telah memaafkan engkau dengan harapan Allah pun memaafkanku pada hari kiamat.”
Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yang berkenan melihat pendampingku di surga, lihatlah orang tua ini.” Sejurus kemudian, berkerumunlah orang-orang mengitari dan menciumi Ukkasyah. Sebagian mereka mengatakan, “Berbahagialah engkau. Engkau mendapat derajat tinggi dan engkau menjadi pendamping Rasulullah Saw. di surga.”
Dari hadits di atas dan penjelasan langsung melalui perilaku Rasulullah Saw. dalam berinteraksi dengan para sahabatnya, kita dapat menarik beberapa ibrah.
Pertama, Rasulullah Saw. begitu takut menghadap Allah dalam keadaan membawa dosa kezaliman kepada sesama manusia.
Karenanya, Rasulullah pun mengingatkan kepada kita sebagai umatnya agar jangan sampai meninggal dunia dalam keadaan membawa dosa akibat kezaliman terhadap sesama hamba.
Dengan gamblang, hadits yang sedang kita kaji ini menggambarkan bahwa urusan kezaliman kepada sesama manusia tidak akan berakhir dengan berakhirnya kehidupan seseorang. Bahkan tidak akan dihentikan perkaranya dengan kehancuran alam semesta.
Dosa semacam itu akan terus mengikuti sang pelaku selama belum mendapatkan permaafan atau penghalalan (pemutihan) dari pihak yang menjadi korban. Setiap orang yang pernah menjadi korban kezaliman akan menuntut balas di hari akhirat, di hadapan hakim Yang Maha Adil.
Jika Rasulullah Saw. sedemikian mengkhawatirkan dirinya kembali kepada Sang Pencipta dengan membawa hutang kezaliman, selayaknyalah kita merasa lebih cemas lagi. Rasul yang amal ibadahnya berada pada puncak kesempurnaan. Rasul yang pahala kebaikannya, amal salehnya, perjuangannya, dan pengorbanannya tidak mungkin ditandingi oleh siapa pun. Dan Rasulullah pula yang merasa amat takut jika dosa-dosa akibat kezaliman menggerogoti semuanya.
Lalu, apa yang kita punya? Seberapa banyak amal yang kita punya? Setinggi apa tabungan ibadah dan amal saleh yang sudah kita himpun? Hitunglah, bila semua amal yang sudah kita lakukan itu harus diambil guna melunasi hutang akibat dosa-dosa kezaliman, berapa yang masih tersisa?
Kezaliman yang disebut dalam hadits tersebut di atas amat banyak bentuk dan jenisnya. Jangan bayangkan kezaliman hanya dalam bentuk kesewenang-wenangan penguasa kepada rakyatnya. Setiap orang berpeluang terjebak melakukan sikap zalim kepada orang lain karena kata zalim bermakna sikap apa pun yang menunjukkan perbuatan meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Maka, membersihkan diri dari dosa kezaliman sebelum Allah memanggil kita ke haribaan-Nya adalah sikap yang bijak.(Bersambung)
Sumber : majalah percikan iman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar